Jumat, 10 Juli 2015

Belajar Menulis Via Hypnowriting

Bersama Ferry Djajaprana


Berbicara tentang menulis dan blogging, sudah bukan dunia yang asing bagi saya. Mulai mencinta kegiatan tulis-menulis sejak kelas 5 SD, saya menemukan kesulitan untuk bertemu dan bercengkrama dengan 'teman-teman senasib' yang bisa diartikan sebagai alien pula. Betapa tidak, saya sudah menemui manusia tak terhitung yang mengernyit, terkagum-kagum atau terbahak ketika saya bilang hobi saya adalah menulis. Mereka merasa, hobi ini kurang beken, tidak seperti olahraga tertentu, nge-mall, nongki-nongki (which is saya juga suka sih, haha) atau belanja (nah, yang ini apalagi!). #gagalfokus

Belum lagi ketika ditanya dengan pertanyaan mainstream, "Apa cita-citamu?" yang sudah berani saya jawab dengan, "Jadi penulis." Saya bisa melihat apa yang terpampang di jidat mereka: alien.

Mungkin saja, ini semua hanya delusi yang keterlaluan, sebenarnya banyak sekali 'teman sejenis' di luar sana, saya bukanlah satu-satunya alien yang sok eksklusif. Untungnya, itu semua terjawab ketika saya iseng-iseng mendaftar acara Sunday Sharing yang saya ketemukan di timeline twitter saya. Berangkatlah saya sendirian pada minggu pagi, dengan harapan yang sederhana: menemukan ilmu baru. (dikira dunia persilatan apa, haha!). Tak lupa, saya membawa satu kopi novel saya yang baru saja diterbitkan indie oleh Nulisbuku. Alasan yang sederhana pula, memberi sedikit kontribusi pada komunitas baru yang entah wujudnya seperti apa ini. Hehe.




Ferry Djajaprana, hypnotherapist yang mengajarkan hypno-writing

Here is it. Topik Sunday Sharing ini cukup menarik, terbukti dari animo peserta yang membludak dalam satu ruangan meeting di kantor Detik. Beliau adalah Ferry Djajaprana, yang membukakan cakrawala pengetahuan kami mengenai dunia kepenulisan dari sisi lain: menulis untuk penyembuhan psikologis, dan dengan kata lain juga memicu produktivitas kami untuk menghasilkan tulisan yang lebih bermakna. Ada satu hal yang paling 'nyantol' sampai sekarang, yang sulit terlupa. Pak Ferry menyatakan:
"Kebanyakan penulis itu pada dasarnya perfeksionis, oleh karena itulah mereka sulit melahirkan karya. Seringkali terbentur writer's block. Tulislah, tanpa mikir; tanpa me-revisi sebelum selesai. Anda tidak menulis untuk mengedit. Tulislah dengan kualitas tulisan sampah."

Thanks, Pak Ferry. It means a lot. I can write without any burdens now, so free. And i know, i can let my writings be, and having my editing-time on the proper time too.



WHAT MAKES ME LOOOOOVE THIS
#SUNDAYSHARING:

pembacaan puisi oleh rekan PEDAS.
should be more dramatic than the picture:
lampu-lampu yang dimatikan, suara lantang yang membelah hening.

Saya terpukau dengan aksi sebelum sharing dimulai: pembacaan puisi oleh anggota komunitas PEDAS (Penulis dan Sastra) dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda. Memang, sayup-sayup saya sudah mendengar gladi bersih mereka yang barusan dilakukan (beberapa menit sebelum tampil), tapi jujur... saya suka dengan performance mereka. Chemistry-nya dapet banget, klik banget, dan masing-masing pembaca puisi punya kekhasan masing-masing. Cukup menghibur dan menggemuruhkan tepuk tangan para peserta, salute!




ilmu gratis + lunch gratis + teman baru!

Kekhawatiran akan tidak bisa dapat teman baru seketika buyar setelah makan siang, karena walaupun peserta di sana rata-rata adalah para 'sesepuh,' namun mereka sama sekali tidak sombong dan rajin menabung pulak--eh tidak ding, rajin memberi buku dan merchandise! Terbukti dengan kuis yang banjir hadiah dan banjir 'penjawab' di sela-sela acara. Interaktif yang akrab!



sesi hipnoterapi
Last but not least tentang Sunday Sharing #10, sela-sela tertidur sambil dicekokin afirmasi positif dari pembicara. Bangun dengan perasaan lebih segar, dan siap menulissss.




EH, EH. TERNYATA
TIDAK HANYA JADI TAMU.
Saya rasa semua 'kebetulan' ini dimulai semenjak saya menyerahkan novel saya sebagai merchandise kepada Ketua Kelas Sunday Sharing #10 sekaligus pemimpin PEDAS, Mbak Elisa Koraag. Sudah merupakan tradisi, bahwa event yang terselenggara tiap bulan ini akan dikelola secara estafet pula, dengan pemilihan Ketua & Wakil Ketua Kelas yang baru tiap bulannya. Awalnya saya pikir, Mbak Elisa akan menunjuk salah seorang temannya dan kemudian heboh sana-sini, eh ternyata... ada seorang Ibu yang belakangan diketahui akrab disapa Bunda yang menawarkan diri menjadi Ketua Kelas. Terjadilah adegan ngobrol-ngobrol di depan, sedangkan saya masih asik main hp di belakang. Eh, eh, tiba-tiba nama saya dipanggil. Aye naon?

Ternyata saya diminta jadi Wakil Ketua Kelas.
Pupus sudah rencana saya untuk menjadi makhluk yang datang dan lenyap di acara ini. Akhirnya, dengan tampang ngenes, agak malu-malu(in) juga, saya pun maju ke depan. Cukup senang, dan deg-degan... yang terbayar setelah foto bareng. Hehe.




Ketua & Wakil Ketua Kelas Sunday Sharing #10 & #11

Eittss.. Kejutan tidak berhenti sampai di sana sajaaaa. Kami juga diajak untuk berkelana ke lantai 5, markas CNN Indonesia - dede barunya Detik.com yang baru akan diresmikan pada keesokan harinya (tepat saat pelantikan Presiden Baru Indonesia, 20 Oktober 2014). Yap. Kami menjadi pengunjung pertamax, gan!! Suasana kantor yang masih bau cat, grafiti pada dinding-dinding kantor yang sangat 'lokal' dan menggemaskan! Ada wayang, tukang jamu, becak, bajaj, daaaaan... barisan tokoh-tokoh populer Indonesia yang 'mengundang' kami untuk jepret-jepret.

Senja memisahkan kami semua, dipanggil pulang ke kandang masing-masing. Tapi, keseruan tidak berhenti di sana saja. Saya masih punya kewajiban mendatang, yaitu menyukseskan event Sunday Sharing #11 bersama Bunda Sitti Rabiah, yang review nya bisa dibaca di sini.

Salam Blogger!
Nana Takizawa
(From Her fantastic blog, with thanks)

Label:

blogdetik, blogger, blogger indonesia, buku, cnn indonesia, detik, detikcom, hipnowriting, jakarta, kantor cnn indonesia, kantor detik, markas detik, menulis, review, sunday sharing, sunday sharing detik com, ferry Djajaprana, verri JP MA, Thera Institute, The Thera Institute of Indonesia,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar