Kamis, 07 Juni 2018
Seni Mengukir Kata
Bisakah “Kata” Diukir?
(Resensi Buku)
Judul : Seni Mengukir Kata: Kiat-Kiat Menulis Efektif-Kreatif
Penulis : Mulyadhi Kartanegara
Tahun terbit : 2005
Penerbit : Mizan Learning Center (MLC)
Tebal : 331 halaman
Buku ini mungkin akan membingungkan jika tanpa ada subjudul “Kiat-Kiat Menulis Efektif-Kreatif”. Permasalahannya, yakni bagaimana “kata” bisa diukir? Bukankah yang diukir itu misalnya kayu? Namun, itulah buku yang ditulis oleh Mulyadhi Kartanegara, seorang doktor filasat lulusan Universitas Chicago. Keunikan judul itu pula yang menjadi kekhasan sejumlah buku yang diterbitkan oleh Mizan Learning Center (MLC) mengenai kiat-kiat dalam menulis. Buku berbentuk saku ini diberi kata pengantar oleh Hernowo, seorang penulis yang juga banyak menulis tentang kiat-kiat menulis. Buku-bukunya juga banyak yang diterbitkan oleh MLC. Kiranya tepat juga yang dikatakan oleh Hernowo bahwa buku ini layak menjadi “bacaan wajib” para mahasiswa.
Selain judulnya yang unik, buku yang terdiri atas empat bab ini pun ditulis dengan cara yang unik. Penulisannya menggunakan gaya buku harian dengan kata ganti orang pertama “aku”, yakni penulis sendiri. Dengan format tersebut penulis bercerita pada pembaca tentang pengalamannya dalam menulis. Oleh karena itu, kita akan membaca sebuah buku harian tentang bagaimana pengalaman Mulyadhi dalam melahirkan karya-karyanya dalam berbagai bentuk tulisan. Gaya penulisan buku harian itu juga dipertegas dengan tidak adanya daftar pustaka dalam buku ini meskipun dalam bahasannya juga mengutip beberapa tokoh. Keunikan lain dari buku ini juga ditunjukkan dengan ilustrasi karikatur seorang laki-laki yang sedang mengukir atau memahat “kata”.
Di samping itu, fisik buku ini tergolong buku saku. Itu tampak dari ukuran buku yang lebih kecil daripada buku pada umumnya. Memang, sejumlah buku terbita MLC dirancang lebih ramping. Kemudian, jika melihat isi maka di halaman tertentu banyak kutipan yang merupakan inti dari apa yang ditulis. Kutipan-kutipan itu terpisah dari teks dan ukuran hurufnya pun lebih menonjol. Tentu ini memudahkan pembaca dalam memahami dan mengingat isi terpenting dari apa yang ditulis. Lagi pula, kutipan-kutipan tersebut cukup merangsang kegairahan dalam menulis.
Menulis sebagai seni mengawali bab pertama pada buku ini. Dalam hal ini seni menulis berarti kepiawaian seorang penulis dalam menghasilkan karya berwujud tulisan. Oleh karena itu, agar seorang penulis piawai dalam menulis maka perlu ditunjang oleh misalnya motivasi dalam menulis, peran konsentrasi, sampai pada kebebasan yang harus dimiliki oleh seorang penulis.
Memang, motivasi dalam menulis, peran konsentrasi, maupun kebebasan dalam menulis merupakan hal yang umum yang menjadi modal dalam menulis. Namun, isi dari buku ini sesungguhnya merupakan arah baru dalam bidang menulis. Berdasarkan pikiran penulisnya, tulisan ini ditulis dengan apa yang senyatanya daripada apa yang seharusnya. Oleh karena itu, buku ini cocok pula bagi penulis pemula.
Adapun buku ini sebetulnya ditulis dengan pendekatan ilmiah. Itu tampak dari latar belakang penulisnya yang juga bergelut di dunia akademis, terutama filsafat. Misalnya, jenis tulisan berupa tulisan reflektif, fiksi ilmiah, dan novel filosofis. Jenis-jenis tulisan itupun merupakan pengalaman penulis sendiri. Jadi, Mulyadhi sendiri juga telah menulis jenis tulisan reflektif.
Umumnya sebagian penulis pernah mengalami kegagalan maupun kepahitan dalam menulis. Misalnya, pernah ditolak oleh penerbit sampai beberapa kali, bahkan sampai puluhan kali. Namun, itu rupanya tidak begitu diceritakan dalam buku ini. Dalam perjalanan kepenulisannya, tampaknya penulisnya tidak mengalami kendala yang berarti. Hanya diceritakan secara sedikit bahwa Mulyadhi pernah mengalami krisis kepercayaan saat mengerjakan skripsi (halaman 305), maupun menyangkut pemikiran sejumlah tokoh seperti Sigmund Freud maupun Darwin (halaman 272). Itu pun masih terkait dengan kajian filsafat yang didalami oleh penulis.
Pendekatan ilmiah itu masih dilanjutkan di bab 3, yakni seputar tulisan ilmiah. Misalnya di bab tersebut ditulis tentang risalah, skripsi, tesis master, disertasi, dan artikel ilmiah. Bab ketiga ini mulai berisi uraian untuk kalangan terbatas, seperti kalangan mahasiswa. Sekali lagi, kiranya masih jarang buku yang mengupas tentang bagaimana cara menulis, sekaligus penulis telah mengalami sendiri. Dalam kaitan ini, Mulyadhi juga telah membuat risalah, skripsi, tesis master, disertasi, dan artikel ilmiah. Oleh karena itu, contoh tulisan dalam buku ini pun selain termasuk fiksi, juga ada karya nonfiksi.
Kemudian, proses pengalaman dalam membuat jenis karya ilmiah itu diceritakan dalam buku ini. Misalnya, dikatakan “metode penyajian buku ini...naratif, yang di dalamnya aku pada dasarnya akan bercerita tentang berbagai pengalamanku dalam menulis.” Terkait dengan proses pengalaman tersebut, proses menulis pun tidak cukup satu atau dua hari saja. Dengan kata lain, prosesnya menulis perlu diasah secara terus menerus. Meskipun Mulyadhi tidak menyatakan secara tersurat bahwa proses menulis itu memerlukan waktu yang panjang, tetapi dalam karya tulisnya telah menunjukkan hal itu.
Satu hal yang juga dapat dicatat dari buku ini adalah keislamannya. Beberapa contoh jenis tulisan seperti skripsi juga tergolong dalam karya keislaman. Tentu saja itu tidak terlepas dari latar belakang pendidikan keislaman. Misalnya, salah satu karyanya yang juga dijadikan contoh, yaitu ilustrasi cover buku berjudul Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (halaman 145). Sebagai seorang penulis, Mulyadhi pun tergolong penulis produktif. Di lampiran, misalnya dalam waktu satu tahun, 2004, Mulyadhi dapat menghasilkan beberapa karya tulis, khususnya yang ilmiah.
Sebetulnya Mulyadhi pada contoh jenis tulisannya tidak hanya berbicara keislaman. Namun, juga lebih kontemporer. Itu terlihat dari sejumlah tokoh yang juga dikutip seperti Socrates (halaman 199). Pandangan kontemporer ini pun juga tak terlepas dari karekter kajian filsafat yang lebih mencari satu muara dari setiap pemikiran. Jadi, dalam buku ini juga terkandung maksud bahwa tidak ada pertentangan yang berarti antara filsafat barat dan Islam.
Di akhir bab, yakni bab keempat, diuraikan beberapa hal untuk memupuk tradisi menulis. Misalnya, peran membaca, seputar inspirasi dalam menulis, dan mengenai tulisan yang autentik. Pada dasarnya bab keempat ini merupakan lanjutan dari bab pertama. Berkaitan dengan itu, mereka yang sedang menggali potensi menulisnya, jika membaca buku ini maka akan menjadi bagian yang dari apa yang ditulis oleh Mulyadhi.
Puguh Utomo
Alumnus Prodi Sosiologi
FISIP, Universitas Jember
Langganan:
Postingan (Atom)